Istilah 'Cina' Dianggap Merendahkan, Orang Tiongkok Lebih Suka Disebut 'Tionghoa' Atau 'Chinese'

- 2 Maret 2021, 19:16 WIB
Pengurus vihara memasang lampion dan ornamen Imlek di Vihara Dhanagun, Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis, 4 Februari 2021.
Pengurus vihara memasang lampion dan ornamen Imlek di Vihara Dhanagun, Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis, 4 Februari 2021. /Antara Foto/Yulius Satria Wijaya/ANTARA FOTO

PORTAL PROBOLINGGO - Saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Februari lalu menyampaikan ucapan selamat Tahun Baru Imlek kepada para masyarakat keturunan Tiongkok di Indonesia, dia menyebut mereka sebagai "Tionghoa".

Kata Tionghoa sekarang digunakan di negara Asia Tenggara untuk menggambarkan kelompok etnis minoritas Tiongkok, namun baru secara resmi diadopsi pada tahun 2014, dan diperlukan keputusan presiden, di tengah kontroversi yang cukup besar.

Tidak jarang bahasa menjadi alasan debat publik. Namun inilah yang terjadi di negeri ini saat itu, menyusul adanya rencana untuk meresmikan istilah "Tiongkok", untuk negara Cina, dan "Tionghoa", untuk orang Cina, untuk menggantikan kata "Cina" yang umum di kalangan masyarakat.

Baca Juga: Mengenal Seniman Tari Bagong Kussudiarjo dan Judul Karya Tari Ciptaannya, Salah Satu Muridnya Adalah Soimah

Pada saat itu, "Cina" digunakan baik untuk Tiongkok sebagai negara maupun untuk orang Tionghoa dan budaya mereka.

Tetapi sepanjang sejarah Indonesia, kata itu juga digunakan secara merendahkan untuk menyiratkan bahwa orang Indonesia Tionghoa adalah orang asing.

Keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat itu dipandang sebagai langkah logis dalam melindungi hak-hak masyarakat Tionghoa yang mencakup 4 hingga 5 persen dari 270 juta penduduk Indonesia setelah Tahun Baru Imlek pertama kali ditetapkan sebagai hari libur nasional di 2003.

Tetapi keadaan berubah secara tidak terduga ketika para ahli bahasa memperdebatkan apakah bahasa Indonesia harus tunduk pada apa yang disebut sebagai kebenaran politik.

Hingga membuat pemerintah Cina juga terlihat ikut campur dalam perdebatan tersebut.

Baca Juga: Batas Waktu Penggunaan pada Minuman Kemasan, Agar Tak Sampai Keracunan

"Kedutaan Besar Cina di Jakarta mencoba menekan pemerintah kami dan media untuk menghilangkan penggunaan istilah 'Cina' di depan umum. Media kami (kecuali Tempo, yang sampai sekarang masih menggunakan 'Cina' atau 'China' secara bergantian) akhirnya menyerah," kata Yos Wibisono, sejarawan bahasa dan mantan jurnalis di Radio Nederland dikutip PORTAL PROBOLINGGO dari SCMP.

Pada tahun 2014, diberitakan banyak media bahwa Tan Qingsheng, yang pada saat itu adalah seorang pejabat senior di Kementerian Luar Negeri Tiongkok, pernah berkata: "Kata 'Cina' menimbulkan kenangan buruk bagi rakyat Tiongkok. Selama penjajahan Jepang pada tanah Tiongkok, mereka menggunakannya untuk memanggil kami (referensi ke istilah Jepang kuno 'Shina', yang sekarang dipandang sebagai ofensif)."

Kelompok perwakilan seperti Aliansi Tionghoa Indonesia (INTI) dan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) telah lama mengkampanyekan penggunaan "Tiongkok”" dan "Tionghoa" yang diturunkan dari Hokkien sebagai pengganti "Cina".

Baca Juga: Daftar Drama Korea yang Tayang Bulan Maret 2021, Ada Love Alarm 2, Mouse, Joseon Exorcist Hingga Navillera

Banyak orang Indonesia Tionghoa adalah keturunan imigran yang berasal dari provinsi Tionghoa daratan seperti Fujian dan Guangdong, yang berpendapat bahwa "Cina" membawa stigma dan trauma terkait dengan praktik diskriminasi terhadap orang Indonesia Tionghoa.

Sejarawan Asvi Warman dalam sebuah wawancara tahun 2014 mengkonfirmasi aspek penggunaan kata ini, terutama selama pemerintahan Presiden Soeharto dari tahun 1967 hingga 1998.

Selama periode ini, orang Indonesia Tionghoa diwajibkan untuk mengubah nama mereka menjadi lebih terdengar Indonesia atau berisiko dicabut kewarganegaraannya.

Penggunaan dan pembelajaran bahasa Mandarin juga tidak disarankan, dan Tahun Baru Imlek juga tidak boleh dirayakan dengan cara yang "mencolok".

Baca Juga: Sinopsis Drakor River Where The Moon Rises, Episode 5 Sampai 8 yang Diperankan Oleh Ji Soo dan Kim So Hyun

Baru pada tahun 1999, setelah jatuhnya Soeharto, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mencabut larangan tersebut.

Hampir dua dekade setelah adopsi resmi "Tiongkok" dan "Tionghoa", namun penggunaan istilahnya masih belum meluas di kalangan masyarakat Indonesia.

Sadar akan penggunaan kata "Cina" yang berpotensi menyinggung, terutama bila ada orang Indonesia Tionghoa, banyak masyarakat kelas menengah yang terpelajar memilih kata bahasa Inggris "Chinese" sebagai gantinya.

Fonny Sutrisna, 43 tahun, seorang Tionghoa Indonesia, lebih suka orang-orang yang bukan dari kelompok etniknya menggunakan kata "Chinese" untuk menggambarkan komunitasnya.

"Kedengarannya jauh lebih ramah daripada 'Cina' atau 'Cino' (dalam bahasa Jawa)," katanya.

Baca Juga: LINK LIVE STREAMING : Ikatan Cinta 2 Maret 2021, Andin Seminar di Bandung, Apakah Al Membatalkan Liburannya???

Pendirian Fonny menunjukkan tren yang berkembang di kalangan masyarakat Indonesia, terutama di kalangan kelas menengah yang sedang berkembang, untuk beralih ke bahasa Inggris dalam upaya untuk membuat kata atau ungkapan tertentu menjadi lebih sopan.

"Contohnya kata 'sopir', yang dengan cepat menghilang di daerah perkotaan," kata sejarawan bahasa Wibisono.

"Kata ini diadopsi ke dalam bahasa Indonesia pada masa penjajahan Belanda dari kata 'chauffeur', tetapi banyak orang saat ini lebih suka menggunakan kata bahasa Inggris 'driver' dalam percakapan sehari-hari," dia melanjutkan.

Alasan kenapa "driver" lebih diterima secara sosial akhir-akhir ini, ibu rumah tangga, Linda Anggraini, 43 tahun, berpendapat bahwa "sopir terdengar kasar bagi mereka yang berprofesi tersebut."

Baca Juga: Traveler Wajib tahu ! Tempat Wisata di Blitar yang Wajib Dikunjungi, Salah Satunya Gumuk Sapu Angin

"Di sini, di Manado, kebanyakan orang sekarang menyebut pekerja mereka (di toko dan pabrik) sebagai 'helper' sehingga kita tidak tampak merendahkan orang-orang di bawah (tangga sosial)," kata Sutrisna.

Tetapi gentrifikasi leksikon Indonesia melalui bahasa Inggris mungkin merupakan bagian dari kecenderungan yang lebih luas untuk merangkul bahasa asing.***

Editor: Elita Sitorini


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkait

Terkini

x