RUU Cipta Kerja Sepakat Dibawa ke Paripurna, Berikut 7 Poin Bermasalah yang Ditolak Serikat Pekerja

5 Oktober 2020, 21:16 WIB
Ilustrasi aksi buruh menolak RUU Cipta. /Pikiran-rakyat.com/Armin Abdul Jabbar

 

PORTAL PROBOLINGGO - Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang termasuk dalam pembahasan Omnibus Law resmi disepakati Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Pengambilan Keputusan Tingkat I RUU Ombinus Law Cipta Kerja pada Sabtu, 3 Oktober 2020.

Ada tujuh fraksi yang sepakat untuk membawa RUU Cipta Kerja ke rapat paripurna, yakni PDIP, Golkar, Gerindra, PAN, Nasdem, dan PKB.

Sedangkan fraksi Demokrat dan PKS menolak keputusan tersebut.

Baca Juga: Rumah Habis Terkabar, Satu Keluarga Ini Dinyatakan Positif Covid 19 Beberapa Hari Setelahnya

Mengetahui hal tersebut, serikat buruh dan para pekerja yang sejak semula menolak pembahasan RUU Cipta Kerja mengancam akan melakukan pemogokan massal secara nasional.

Dikutip PORTAL PROBOLINGGO dari laman Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) berikut 7 poin yang ditolak dan dianggap bermasalah oleh para serikat pekerja.

1. UMK Bersyarat dan UMSK Dihapus

Baca Juga: Usai Kontak Langsung dengan Menteri yang Positif Covid-19, PM Malaysia Muhyiddin Lakukan Karantina

Buruh menolak keras kesepakatan penghapusan UMK dan UMSK. Menurut Said Iqbal, Presiden KSPI, UMK bersyarat dan UMSK tetap harus ada. Sebab ketiadaan UMK bersyarat dan UMSK dapat menimbulkan ketidakadilan.

"UMK pekerja di sektor otomotif dan tambang, umpamanya, akan sama besarnya dengan perusahaan baju dan kerupuk apabila UMK bersyarat benar-benar ditiadakan," tuturnya.

"Karena itulah ada Upah Minimum Sektoral (UMS) yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDP negara," imbuhnya.

Baca Juga: Beasiswa LPDP : Registrasi Online Dibuka Mulai Besok, Simak Cara Pendaftarannya

2. Pengurangan Nilai Pesangon

Poin kedua yang ditolak para buruh adalah pengurangan nilai pesangon dari semula 32 bulan menjadi 25 bulan. Format ini mengharuskan perusahaan membayar pesangon 19 bulan dan 6 bulan sisanya dibayar BPJS Ketenagakerjaan.

3. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

Para buruh dengan tegas menolak tak adanya aturan mengenai status kontrak.

Hal ini berpotensi membuat buruh berstatus kontrak seumur hidup dan kehilangan hak-hak tertentu yang seharusnya diterima.

Baca Juga: 7 Penyakit Paling Langka di Dunia

4. Outsourching Seumur Hidup

Kontrak outsourcing seumur hidup merupakan poin yang ditolak secara keras dan besar-besaran oleh para buruh.

Dalam RUU Cipta Kerja, outsourcing dan status seumur hidup diatur tanpa batasan jenis pekerjaan. Pada aturan sebelumnya, terdapat 5 jenis pekerjaan yang diperbolehkan menggunakan skema outsourcing.

Skema outsourcing seumur hidup dapat membuat tidak adanya kepastian kerja bagi buruh di Indonesia.

Dalam kompensasi dan upah masa kontrak, umpamanya, apabila kontrak outsourcing diputus di tengah jalan maka tak ada kejelasan siapa yang membayar upah sisa kontrak.

5. Waktu Kerja

Dalam RUU Cipta Kerja, waktu kerja buruh dianggap tetap sehingga tergolong eksploitatif.

Umumnya aturan jam kerja yang berlaku adalah 7 jam sehari untuk pekerja yang bekerja 6 hari dalam seminggu dan 8 jam sehari bagi pekerja yang bekerja dalam 5 hari dalam seminggu.

6. Hak Cuti dan Hak Upah Atas Cuti Hilang

Poin ini disoroti khususnya pada konteks pemenuhan hak buruh perempuan. Cuit haid dan melahirkan bagi pekerja perempuan terancam hilang karena hak upahnya atas cuti tersebut juga hilang.

Begitu pula dengan cuti panjang dan hak cuti panjang, juga berpotensi hilang.

7. Tak Ada Jaminan Pensiun dan Kesehatan

Poin ini berkaitan dengan status pekerja kontrak dan outsourcing seumur hidup.

Status kontrak dan outsourcing berarti meniadakan jaminan pensiun dan kesehatan bagi para buruh. ***

Editor: Antis Sholihatul Mardhiyah

Sumber: KSPI

Tags

Terkini

Terpopuler