Tolak UU Cipta Kerja, BEM SI Geruduk 'Istana Rakyat' Sejak Pagi

8 Oktober 2020, 16:45 WIB
Aksi demonstrasi mahasiswa se Indonesia, salah satunya di Jember, Jawa Timur /Haryo Kusumo by tangkapan kamera/

PORTAL PROBOLINGGO - Gelombang penolakan pasca disahkannya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI semakin meluas. Pagi tadi, Badan Eksekutif Mahasiswa se-Indonesia (BEM-SI) akan menggelar aksi di depan Istana Jakarta sejak pukul 10:00 WIB.

Tuntutan para mahasiswa tetap sama, yakni tolak dan cabut Omnibus Law Cipta Kerja yang baru disahkan 3 hari lalu tersebut.

"Kami berseru memanggil jiwa-jiwa yang masih terketuk hati nurani," tutur koordinator BEM-SI, Remy Hastian dalam keterangan tertulisnya, sebagaimana dikutip PORTAL PROBOLINGGO dari laman instagram @remyhastian pada Kamis, 8 Oktober 2020.

Baca Juga: Aksi Massa Tolak UU Cipta Kerja, 2500 Personel Brimob Diturunkan Amankan Wilayah Jakarta

"Kami berempati memanggil pikiran-pikiran yang masih ingin diam, mari gaungkan perlawanan jalanan dengan protokoler kesehatan yang berlaku. Panjang umur perjuangan!" imbuhnya.

Para mahasiswa juga mendesak agar Presiden Joko Widodo segera mengeluarkan Perpu Cipta Kerja.

Untuk diketahui, UU Cipta Kerja telah disahkan DPR RI pada 5 Oktober 2020 lalu. UU itu akan berlaku setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangi draft UU.

Apabila Presiden Jokowi tidak menandatangani sampai 30 hari semenjak UU disahkan, maka berdasarkan regulasi UU Cipta Kerja akan secara otomatis berlaku.

Baca Juga: Ganjar Pranowo Kedatangan 'Tamu Dadakan' yang Berkeluh Kesah, Gubernur Jawa Tengah Beri Nasehat Ini

Di tempat terpisah, gelombang penolakan UU Cipta Kerja dari berbagai elemen masyarakat seperti kelompok buruh dan mahasiswa telah dimulai sejak 6 Oktober 2020 di berbagai wilayah di Indonesia.

Jogjakarta, Jember, Pare-pare, Kudus, Lampung, adalah sedikit dari banyak kota di mana gelombang penolakan mahasiswa terhadap UU Cipta Kerja sedang terjadi.

Tuntutan mereka serupa, yakni menolak UU Cipta Kerja yang dianggap terlalu menguntungkan oligarki.***

Editor: Elita Sitorini

Tags

Terkini

Terpopuler