Sejarah Singkat Perjuangan RA Kartini, Pelopor Emansipasi Wanita

19 April 2021, 11:44 WIB
RA Kartini /made blog.com/

PORTAL PROBOLINGGO - Indonesia mengenal 21 April sebagai Hari Kartini. Kartini memiliki nama asli Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat atau dikenal sebagai R.A Kartini
.
R.A Kartini lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah. Beliau sangat dikenal sebagai salah satu pahlawan nasional yang dikenal gigih sebagai pejuang emansipasi wanita indonesia ketika ia hidup.

Hal itu berawal ketika Kartini merasakan Diskriminasi yang terjadi pada wanita. Pada masa itu, memang wanita tidak dihargai, tidak boleh mendapatkan pendidikan yang layak hanya tugasnya harus di rumah mengurus suami, anak dan memasak.

Baca Juga: Kumpulan Pantun Selamat Sahur, Cocok Dibagikan untuk Teman, Keluarga, Saudara, dan Pacar di Media Sosial

Baca Juga: Resep Lauk Sahur dan Berbuka Puasa : Bakso Mercon atau Pentol Mercon, Enak, Pedas, dan Mudah

Kemudian RA Kartini berjuang agar wanita tidak ditindas dan bisa sejajar dengan pria lewat sebuah perjuangannya yang menyuarakan kebenaran.

Perjuangan RA. Kartini semasa hidupnya berawal ketika ia yang berumur 12 tahun dilarang melanjutkan studinya setelah sebelumnya bersekolah di Europese Lagere School (ELS) dimana ia juga belajar bahasa Belanda.

Larangan untuk Kartini mengejar cita-cita bersekolahnya muncul dari orang yang paling dekat dengannya, yaitu ayahnya sendiri.

Ayahnya bersikeras Kartini harus tinggal di rumah karena usianya sudah mencapai 12 tahun, berarti ia sudah bisa dipingit. Selama masa ia tinggal di rumah, Kartini kecil mulai menulis surat-surat kepada teman korespondensinya yang kebanyakan berasal dari Belanda, dimana ia kemudian mengenal Rosa Abendanon yang sering mendukung apapun yang direncanakan Kartini.

Dari Abendanon jugalah Kartini kecil mulai sering membaca buku-buku dan koran Eropa yang menyulut api baru di dalam hati Kartini, yaitu tentang bagaimana wanita-wanita Eropa mampu berpikir sangat maju.

Api tersebut menjadi semakin besar karena ia melihat perempuan-perempuan Indonesia ada pada strata sosial yang amat rendah.

Baca Juga: LIVE STREAMING PSS vs Persib Semifinal Leg 2 Piala Menpora 2021, Super Elang Jawa Optimis Bisa Masuk Final

Baca Juga: Ingin Tampilan CV (Curriculum Vitae) Lebih Keren dan Menarik? Berikut 12 Situs Web yang Wajib Dikunjungi

Kartini juga mulai banyak membaca De Locomotief, surat kabar dari Semarang yang ada di bawah asuhan Pieter Brooshoof. Kartini juga mendapatkan leestrommel, sebuah paketan majalah yang dikirimkan oleh toko buku kepada langganan mereka yang di dalamnya terdapat majalah-majalah tentang kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

Kartini kecil sering juga mengirimkan beberapa tulisan yang kemudian ia kirimkan kepada salah satu majalah wanita Belanda yang ia baca, yaitu De Hollandsche Lelie.

Melalui surat-surat yang ia kirimkan, terlihat jelas bahwa Kartini selalu membaca segala hal dengan penuh perhatian sambil terkadang membuat catatan kecil, dan tak jarang juga dalam suratnya Kartini menyebut judul sebuah karangan atau hanya mengutip kalimat-kalimat yang pernah ia baca.

Sebelum Kartini menginjak umur 20 tahun, ia sudah membaca buku-buku seperti De Stille Kraacht milik Louis Coperus, Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta yang ditulis Multatuli, hasil buah pemikiran Van Eeden, roman-feminis yang dikarang oleh Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek, dan Die Waffen Nieder yang merupakan roman anti-perang tulisan Berta Von Suttner. Semua buku-buku yang ia baca berbahasa Belanda.

Pada tanggal 12 November 1903, Kartini dipaksa menikah dengan bupati Rembang oleh orangtuanya. Bupati yang bernama K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat ini sebelumnya sudah memiliki istri, namun ternyata suaminya sangat mengerti cita-cita Kartini dan memperbolehkan Kartini membangun sebuah sekolah wanita.

Selama pernikahannya, Kartini hanya memiliki satu anak yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat. Kartini kemudian menghembuskan nafas terakhirnya 4 hari setelah melahirkan anak satu-satunya di usia 25 tahun.

Baca Juga: Surat Al-Baqarah Ayat 153 Tentang Sabar Arab, Latin, dan Terjemahan

Baca Juga: Kunci Jawaban Tema 8 Kelas 2 SD, Halaman 186,187,188,189,190,191, Keselamatan di Rumah dan Perjalanan, Subtema

Pemikiran dan Surat-Surat Kartini Wafatnya Kartini tidak serta-merta mengakhiri perjuangan RA. Kartini semasa hidupnya karena salah satu temannya di Belanda, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan surat-surat yang dulu pernah dikirimkan oleh Kartini kepada teman-temannya di Eropa.

Abendanon kemudian membukukan seluruh surat itu dan diberi nama Door Duisternis tot Licht yang jika diartikan secara harfiah berarti “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”. Buku ini diterbitkan pada tahun 1911, dan cetakan terakhir ditambahkan sebuah surat “baru” dari Kartini.

Pemikiran-pemikiran Kartini dalam surat-suratnya tidak pernah bisa dibaca oleh beberapa orang pribumi yang tidak dapat berbahasa Belanda. Baru pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkan versi translasi buku dari Abendanon yang diberi judul “Habis Gelap Terbitlah Terang: Buah Pikiran” dengan bahasa Melayu.

Pada tahun 1938, salah satu sastrawan bernama Armijn Pane yang masuk dalam golongan Pujangga Baru menerbitkan versi translasinya sendiri dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.

Baca Juga: Berikut Kriteria Pekerja yang Berhak Memperoleh THR dan Besarannya

Baca Juga: Ikatan Cinta Senin 19 April 2021, Rencana Liburan Gagal, Mama Rosa Kecewa Pada Aldebaran?

Versi milik Pane membagi buku ini dalam lima bab untuk menunjukkan cara berpikir Kartini yang terus berubah. Beberapa translasi dalam bahasa lain juga mulai muncul, dan semua ini dilakukan agar tidak ada yang melupakan sejarah perjuangan RA. Kartini semasa hidupnya itu. ***

Editor: Jati Kuncoro

Tags

Terkini

Terpopuler