PORTAL PROBOLINGGO - Belasan sejarawan dalam bidang fasisme dan otoriterisme menandatangani surat yang memperingatkan bahwa demokrasi dalam skala global sedang lesu atau runtuh akibat semakin dekatnya pemilu Amerika Serikat.
Mereka juga mendesak kepada masyarakat sipil untuk meningkatkan kewaspadaan dan segera mengambil tindakan.
Dikutip PORTAL PROBOLINGGO dari The Guardian, sebanyak delapan puluh orang yang ikut berpatisipasi (menandatangani) termasuk profesor dan sarjana lainnya dari universitas di AS, Kanada, dan Eropa mengaku tidak setuju apakah akan memberi Donald Trump label sebagai pelaku fasisme atau tidak.
Bagi mereka, kerapuhan demokrasi akan terus terjadi tanpa peduli siapapun yang memenangkan pemilu nanti.
"Apakah Donald J. Trump adalah seorang fasis, populis pasca-fasis, otokrat atau hanya seorang oportunis yang kebingungan, kerawanan demokrasi tidak datang ketika masa kepemerintahannya dan akan membaik setelah tanggal 3 November 2020 (pemilu AS)," tulis para cendekiawan yang mengacu pada pemilu Trump kontra Biden.
Baca Juga: Politik Sedang Memanas, Mahfud MD: Siapapun Pemerintahnya Akan Runtuh Jika Tidak Berlaku Adil
Lebih lanjut, para sejarawan memperingatkan bahwa setelah pandemi Covid-19 berakhir, bujukan untuk memercayai sosok dengan arogansi besar akan semakin kuat.
Sehubungan dengan hal itu, mereka menyarankan masyarakat agar selalu siap mempertahankan demokrasi melalui kotak suara, tapi juga melakukan demontrasi tanpa kekesaran bila diperlukan.
Baca Juga: Imbas Demo, Berikut Rekayasa Lalu Lintas di Istana dan Kedutaan Prancis Hari Ini 2 November 2020
Jennifer Evans, Profesor sejarah Jerman di Carleton University, Kanada dan salah satu pencetus utama surat terbuka tersebut mengatakan bahwa keruntuhan demokrasi yang sedang terjadi bisa dijadikan pelajaran untuk jangan berpuas diri.
"Ini adalah momentum yang sangat berbahaya dan kita semua memiliki tanggung jawab untuk menopang demokrasi," kata Evans.
Evans juga mengatakan bahwa dirinya merasa terganggu oleh adanya infiltrasi sayap kanan di organisasi polisi dan militer di seluruh dunia, termasuk di AS, Jerman, dan Kanada.
Saat ini, di antara tanda-tanda bahwa demokrasi sedang dalam resiko besar, menurut para sejarwan terselip penyebaran informasi sesat, diskriminasi, "politik musuh internal", dan kekerasan bermotif politik.
“Kita perlu mengungkap dan mengecam setiap hubungan antara mereka yang berkuasa, mereka yang main hakim sendiri, dan kekuatan milisi yang menggunakan kekerasan politik untuk menggoyahkan demokrasi kita,” ungkap para sejarawan dalam surat tersebut.
Sebagai informasi, salah satu surat tersebut juga ditandatangani oleh beberapa penulis yang telah mengomentari otoritarianisme dan fasisme selama kepresidenan Trump, dua di antaranya adalah Ruth Ben-Ghiat (profesor dari New York Univerity) dan Jason Stanley (penulis How Fascism Works).***
Artikel Rekomendasi