Hari Dokter 2020, Mengenal Tjipto Mangoenkoesoemo, Dokter Rakyat yang Antifeodal

- 24 Oktober 2020, 18:50 WIB
Tjipto Mangoenkoesoemo, dokter rakyat anti feodal
Tjipto Mangoenkoesoemo, dokter rakyat anti feodal /Kemendikbud

PORTAL PROBOLINGGO-Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) merupakan bagian penting bagi sejarah Indonesia. Rumah sakit ini dulunya merupakan bagian dari STOVIA, sekolah yang menjadi cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

STOVIA dulu merupakan sebuah sekolah kedokteran yang berdiri di jaman kolonial Belanda. Sejumlah tokoh penting pergerakan kemerdekaan Indonesia pernah bersekolah di sana, salah satunya Tjipto Mangoenkoesoemo

Tjipto Mangoenkoesoemo lahir pada 4 Maret 1886, di Jawa Tengah. Ia merupakan anak sulung Mangoenkoesoemo, seorang priayi golongan rendah dalam struktur masyarakat Jawa. 

Baca Juga: Persiapan Libur dan Cuti Bersama, Wishnutama : Tetap Disiplin Protokol Kesehatan

Sementara sang ibu, adalah keturunan dari seorang tuan tanah di Mayong, Jepara.

Perjalanan Tjipto Mangoenkoesoemo menjadi seorang dokter sangat panjang. Ia tidak serta merta begitu saja meraih gelar dokter dan ikut dalam pergerakan kemerdekaan.

Di masa muda Tjipto mengawali karir sebagai guru bahasa Melayu di sebuah sekolah dasar di Ambarawa. Selepas itu Tjipto Mangoenkoesoemo menjadi kepala sekolah pada sebuah sekolah dasar di Semarang.

Setelah menjadi kepala sekolah, Tjipto melanjutkan karir menjadi pembantu administrasi pada dewan kota di Semarang.

Baca Juga: Menjadi Nama Sebuah Rumah Sakit di Surabaya , Berikut Sejarah Singkat Dokter Soetomo

Berkat didikan orang tuanya di masa kecil, Tjipto Mangoenkoesoemo tumbuh menjadi seorang patriot yang multitalenta. Ia juga terkenal suka menyuarakan hak-hak tanah jajahan dan tidak takut dengan segala resiko yang dihadapi.

Tidak hanya itu, Tjipto pun tumbuh menjadi seorang yang memiliki kepribadian anti feodalisme. Hal ini ia tunjukkan ketika menolak tawaran untuk menjadi Pangreh Praja, pegawai pemerintah pribumi pada masa kolonial.

Di masa itu Pangreh Raja merupakan orang yang dihormati dan dihargai oleh masyarakat pribumi. Seorang Pangreh Raja pun harus menyembah-nyembah tunduk pada pemerintahan kolonial.

Baca Juga: 5 Puisi Musim Gugur yang Melegenda dari Penyair Dunia

Daripada menjadi Pangreh Raja, Tjipto lebih memilih untuk bersekolah di STOVIA. Selama bersekolah di STOVIA Tjipto mendapat julukan “Een begaafd leerling” yang artinya “Murid yang berbakat”, dari guru dan teman-temannya.

Selama di STOVIA pula ia mulai menyuarakan diskriminasi yang ada di sekitarnya. Misalnya, ia menentang peraturan pelajar Jawa dan Sumatera yang bukan Kristen diharuskan memakai pakaian tradisional khas daerah masing-masing bila sedang berada di sekolah.

Saat itu pakaian barat hanya untuk hirarki administrasi kolonial, atau pribumi dengan jabatan bupati. Tjipto pun melihat hal ini sebagai bentuk diskriminasi pada kaumnya.

Baca Juga: Jalin Kerja Sama dengan Jawa Barat, Amerika Ingin Tingkatkan Investasi

Keberanian Tjipto menyuarakan pendapat dan menantang segala bentuk diskriminasi dan feodalisme terbawa hingga ia menjadi dokter melakukan dinas di beberapa tempat. Hal ini membuatnya beberapa kali dipindahkan, mulai dari Glodok, lalu Amuntai, dan kemudian Demak.

Tjipto pun kerap kali menyuarakan pemikiran-pemikirannya melalui tulisan di koran de Locomotief, sebuah koran bernuansa liberal. Dalam tulisan-tulisannya itu ia kerap kali memberikan kritik yang keras pada pemerintah kolonial.

Hal ini membuat Tjipto seringkali ditegur. Karena merasa kebebasannya terancam, ia kemudian memutuskan mundur sebagai dokter dinas.

Baca Juga: Tips Memilih Sepeda Balap Road Bike untuk Pemula, Jangan Asal Pilih!

Selepas itu Tjipto tetap melayani rakyat Indonesia sebagai dokter. Ia membuka praktek dokter partikelir di Solo. 

Disana dia langsung dikenal sebagai “Dokter rakyat” karena kebiasaannya masuk ke kampung-kampung naik sepeda untuk mengobati rakyat kecil dan tidak meminta bayaran. 

Pada 1910 pemerintah kolonial Hindia Belanda direpotkan dengan wabah pes yang terjadi di Malang. Saat itu kebanyakan dokter Belanda tidak mau turun untuk menangani masyarakat, alasannya sarana kesehatan dan alat–alat kedokteran tidak memadai.

Baca Juga: 5 Tempat Wisata Alam di Bandung yang Instagramable

Selain itu masih kentalnya diskriminasi dan rasisme juga membuat dokter Belanda enggan untuk turun menangani wabah pes di Malang. Tjipto yang geram melihat keadaan langsung kembali mendaftar sebagai dokter dinas dan pergi menangani wabah yang terjadi di malang itu.

Tanpa memakai masker atau tutup hidung dan mulut, Cipto tanpa gentar memasuki pelosok-pelosok desa di Malang guna membasmi wabah pes ini. 

Selain itu Tjipto turut menunjukkan kasih, rasa kemanusiaan dan dedikakasinya yang besar ketika mengobati masyarakat. 

Baca Juga: 8 Rekomendasi Tempat Wisata Menarik di Yogyakarta, Nomer 7 Wajib Dikunjungi

Selain aktif bergerak di bidang kemanusiaan sebagai dokter, Tjipto turut aktif melakukan pergerakan politik. Ia sempat bergabung dengan organisasi Budi Utomo, tapi keluar karena ada perbedaan prinsip.

Ia pun kemudian bersama E. F. E. Douwes Dekker dan Suwardi Suryaningrat, Cipto mendirikan Indische Partij. Bersama dua kawannya itu, Tjipto kerap memberikan kritik yang pedas untuk pemerintah kolonial.

Hal ini akhirnya membuat pemerintahan kolonial gerah dan membuang Tjipto bersama dua kawannya itu dibuang ke Belanda. Selama di Belanda kesehatan Tjipto menurun akibat udara dingin di sana, penyakit asmanya sering kambuh.

Baca Juga: Antisipasi Penyebaran Covid-19 saat Libur Panjang, Mendagri Terbitkan Surat Edaran

Pada bulan Juli 1914 dia kembali ke Indonesia dan di izinkan tinggal Kota Solo. Kemudian pada 1918 diminta untuk bergabung ke Volksraad (Dewan Rakyat) Hindia Belanda.

Selama berada di sana, ia tetap memberikan kritik keras untuk Pemerintah Hindia Belanda. Akibat tindakannya ini ia kembali diasingkan pada 1920, ia dibuang ke Bandung.

Di Bandung, Tjipto mempersilakan rumahnya untuk didatangi siapa saja yang mau berobat dan berdiskusi tentang masalah politik dan sosial.

Baca Juga: 4 Rekomendasi Rumah Makan Enak Di Subang, Bisa Jadi Tempat Singgah Saat Liburan Akhir Pekan

Suatu hari di antara akhir 1926 dan awal 1927 Tjipto kedatangan seorang pemuda. Pemuda ini bercerita ingin melakukan pemberontakan bersama orang-orang komunis.

Tjipto kemudian memberikan nasihat untuk pemuda itu agar tidak melakukan pemberontakan karena dapat menyakiti orang yang tidak bersalah. Selain nasihat, Cipto juga memberi pemuda itu uang sebesar ƒ10 (sepuluh gulden) untuk biaya si pemuda mengunjungi rumah keluarganya di Jatinegara.

Mengetahui hal tersebut, pemerintah kolonial tidak langsung menuduh Cipto terlibat dalam pemberontakan. Tjipto kemudian Pada 19 Desember 1927 dibuang ke Banda, Kepulauan Maluku.

Baca Juga: Jokowi Ingin Industri Batu Bara Tak Hanya Ekspor Barang Mentah

Dari Banda, ia dipindahkan ke Bali, kemudian ke Makassar, lalu diungsikan lagi ke Sukabumi, Jawa Barat. Hal ini kemudian membuat penyakit asma Tjipto makin parah.

Hingga akhirnya ia dibawa kembali ke Jakarta untuk mendapatkan pertolongan yang lebih baik. Namun nyawanya tidak dapat tertolong, pada 8 Maret 1943 Tjipto Mangoenkoesoemo, sang dokter rakyat anti feodal, wafat.***

Editor: Hari Setiawan

Sumber: KEMENDIKBUD


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x