Teks Puisi Dongeng Marsinah oleh Sapardi Djoko Damono

- 20 April 2021, 18:30 WIB
Sapardi Djoko Damono.*
Sapardi Djoko Damono.* /instagram @damonosapardi

PORTAL PROBOLINGGO - Tugas pengarang adalah menyodorkan proyek-proyek ingatan sosial dan meramunya agar kembali muncul dan diterima masyarakat.

Mungkin itu pula yang mendorong almarhum Sapardi Djoko Damono menulis puisi 'Dongeng Marsinah' pada 1993-1996.

Marsinah sendiri merupakan buruh pabrik asal Sidoarjo yang hilang dan diduga dibunuh oknum militer pada 9 Mei 1993 lalu.

Dilansir PORTAL PROBOLINGGO dari YouTube Wikipuisi, berikut teks puisi berjudul 'Dongeng Marsinah' dari Sapardi Djoko Damono.

Baca Juga: Bukan Hanya Rempah-Rempah, Ini 5 Alasan yang Mendorong Bangsa Eropa Datang ke Indonesia

Dongeng Marsinah
Marsinah buruh pabrik arloji,
mengurus presisi:
merakit jarum, sekrup, dan roda gigi;
waktu memang tak pernah kompromi,
ia sangat cermat dan pasti.

Marsinah itu arloji sejati,
tak lelah berdetak
memintal kefanaan
yang abadi:
“kami ini tak banyak kehendak,
sekedar hidup layak,
sebutir nasi.”

Marsinah, kita tahu, tak bersenjata,
ia hanya suka merebus kata
sampai mendidih,
lalu meluap ke mana-mana.
“Ia suka berpikir,” kata Siapa,
“itu sangat berbahaya.”

Baca Juga: Mahaguru Penyair Umbu Landu Paranggi Berpulang

Marsinah tak ingin menyulut api,
ia hanya memutar jarum arloji
agar sesuai dengan matahari.
“Ia tahu hakikat waktu,” kata Siapa,
“dan harus dikembalikan
ke asalnya, debu.”

Di hari baik bulan baik,
Marsinah dijemput di rumah tumpangan
untuk suatu perhelatan.
Ia diantar ke rumah Siapa,
ia disekap di ruang pengap,
ia diikat ke kursi;
mereka kira waktu bisa disumpal
agar lenkingan detiknya
tidak kedengaran lagi.

Ia tidak diberi air,
ia tidak diberi nasi;
detik pun gerah
berloncatan ke sana ke mari.

Dalam perhelatan itu,
kepalanya ditetak,
selangkangnya diacak-acak,
dan tubuhnya dibirulebamkan
dengan besi batangan.

Baca Juga: 15 Kata-Kata / Quotes Indah Jalaluddin Rumi tentang Cinta, Harapan, dan Kehidupan

Detik pun tergeletak
Marsinah pun abadi.

Di hari baik bulan baik,
tangis tak pantas.
Angin dan debu jalan,
klakson dan asap knalpot,
mengiringkan jenazahnya ke Nganjuk.
Semak-semak yang tak terurus
dan tak pernah ambil peduli,
meregang waktu bersaksi:

Marsinah diseret
dan dicampakkan —
sempurna, sendiri.

Pangeran, apakah sebenarnya
inti kekejaman? Apakah sebenarnya
sumber keserakahan? Apakah sebenarnya
azas kekuasaan? Dan apakah sebenarnya
hakikat kemanusiaan, Pangeran?

Baca Juga: Kumpulan Puisi Jalaluddin Rumi tentang Cinta

Apakah ini? Apakah itu?
Duh Gusti, apakah pula
makna pertanyaan?

“Saya ini Marsinah,
buruh pabrik arloji.
Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir
ke dunia lagi; jangan saya dikirim
ke neraka itu lagi.”

(Malaikat tak suka banyak berkata,
ia sudah paham maksudnya.)

“apa sebaiknya menggelinding saja
bagai bola sodok,
bagai roda pedati?”

(Malaikat tak suka banyak berkata,
ia biarkan gerbang terbuka.)

“Saya ini Marsinah, saya tak mengenal
wanita berotot,
yang mengepalkan tangan,
yang tampangnya garang
di poster-poster itu;
saya tidak pernah jadi perhatian
dalam upacara, dan tidak tahu
harga sebuah lencana.”

Baca Juga: 7 Puisi Singkat dan Menyentuh Tema Ramadhan dan Puasa, Cocok untuk Tugas Sekolah dan Inspirasi Berkarya

(Malaikat tak suka banyak berkata,
tapi lihat, ia seperti terluka.)

Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini;
dirabanya denyut nadi kita,
dan diingatkannya
agar belajar memahami
hakikat presisi.

Kita tatap wajahnya
setiap hari pergi dan pulang kerja,
kita rasakan detak-detiknya
di setiap getaran kata.

Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini.

(1993-1996). ***

Editor: Antis Sholihatul Mardhiyah

Sumber: YouTube


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x