Hari Sumpah Pemuda : RA. Kartini, Sang Pejuang Emansipasi Wanita

26 Oktober 2020, 16:20 WIB
https://www.biografiku.com/biografi-ra-kartini/ /https://www.biografiku.com/biografi-ra-kartini//

PORTAL PROBOLINGGO – Hari sumpah pemuda diperingati setiap tanggal 28 Oktober, untuk mengingatkan kita pada sejarah tentang tekad para pemuda sebagai tonggak utama dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Salah satu tokoh pergerakan nasional di Indonesia adalah Raden Ajeng Kartini Djojo Adiningrat atau terkenal dengan sebutan RA Kartini.

RA Kartini merupakan seorang penulis buku berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”, juga merupakan salah satu tokoh pergerakan nasional di Indonesia.

Baca Juga: 8 Tips Efektif untuk Menurunkan Lemak Wajah, Nomer 7 Jangan di Sepelekan

RA Kartini juga terkenal dalam memperjuangkan emansipasi wanita di Indonesia pada masanya. Dikutip PORTAL PROBOLINGGO dari laman biografiku berikut biografi singkat RA Kartini.

RA Kartini lahir pada tanggal 21 April tahun 1879 di Kota Jepara. RA Kartini lahir di tengah-tengah keluarga bangsawan oleh sebab itu ia memperoleh gelar R.A (Raden Ajeng) di depan namanya.

Gelar itu sendiri (Raden Ajeng) dipergunakan oleh Kartini sebelum ia menikah, jika sudah menikah maka gelar kebangsawanan yang dipergunakan adalah R.A (Raden Ayu) menurut tradisi Jawa.

Kartini mengenyam pendidikan di ELS (Europese Lagere School), atas permintaan Ayahnya.

Baca Juga: Resep Oseng Mercon, Makanan Khas Yogyakarta yang Terkenal Pedas

Disinilah Kartini kemudian belajar Bahasa Belanda dan sekolah di sana hanya hingga berusia 12 tahun. Sebab setelah itu ada kebiasaan anak perempuan harus tinggal di rumah, untuk ‘dipingit’.

Meskipun berada di rumah, Kartini tetap aktif dalam melakukan korespondensi atau surat-menyurat dengan temannya yang berada di Belanda. Sebab Kartini juga fasih dalam berbahasa Belanda.

Dari sinilah, Kartini mulai tertarik dengan pola pikir perempuan Eropa dan kebudayaan di sana melalui surat kabar, majalah, roman beraliran feminis, serta buku-buku, yang dibaca menggunakan bahasa belanda.

Baca Juga: Kasus Infeksi Covid-19 Melonjak,Spanyol Umumkan Situasi Darurat

Hingga kemudian Kartini mulai berpikir untuk berusaha memajukan perempuan pribumi. Dalam pikirannya kedudukan wanita pribumi masih tertinggal jauh atau memiliki status sosial yang cukup rendah kala itu.

Di usianya yang ke 20, Kartini banyak membaca buku-buku karya Louis Coperus yang berjudul De Stille Kraacht, karya Van Eeden, Augusta de Witt.

Ketertarikannya dalam membaca kemudian membuatnya memiliki pengetahuan yang cukup luas soal ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pemikiran Kartini memberi perhatian khusus pada masalah emansipasi wanita dengan melihat perbandingan antara wanita Eropa dan wanita pribumi.

Baca Juga: Menjelang Peringatan Hari Sumpah Pemuda, Simak Sejarah Singkatnya Disini

Selain itu ia juga menaruh perhatian pada masalah sosial yang terjadi. Menurutnya, seorang wanita perlu memperoleh persamaan, kebebasan, otonomi, serta kesetaraan hukum.

Surat-surat yang Kartini tulis lebih banyak berupa keluhan-keluhan mengenai kondisi wanita pribumi. Kartini juga melihat contoh kebudayaan Jawa yang ketika itu lebih banyak menghambat kemajuan perempuan pribumi kala itu, kemudian hal itu dituangkan dalam tulisannya.

Kartini juga menuliskan penderitaan perempuan di Jawa seperti harus dipingit, tidak bebas dalam menuntut ilmu atau belajar, serta adanya adat yang mengekang kebebasan perempuan.

Baca Juga: Jelang Pilkada Serentak 2020, Gubernur Khofifah Sampaikan Pesan Ini pada Masyarakat

Cita-cita luhur RA Kartini ialah, ingin melihat perempuan pribumi dapat menuntut ilmu dan belajar seperti sekarang ini.

Gagasan-gagasan baru mengenai emansipasi atau persamaan hak wanita pribumi ini dapat dianggap sebagai hal baru yang dapat mengubah pandangan masyarakat.

Selain itu, tulisan-tulisan Kartini juga berisi tentang makna Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan, peri kemanusiaan dan juga Nasionalisme. Inilah yang menjadi keistimewaaan Kartini.

Kartini juga menyinggung tentang agama, misalnya mempertanyakan mengapa laki-laki dapat berpoligami, mengapa kitab suci itu harus dibaca dan dihafal tanpa perlu kewajiban untuk memahaminya.

Baca Juga: Update Harga Emas Antam, Antam Retro dan Antam Batik Hari Ini, Senin 26 Oktober 2020 di Pegadaian

Sejarah mengatakan bahwa Kartini diizinkan oleh ayahnya untuk menjadi seorang guru sesuai dengan cita-cita. Namun dilarang melanjutkan studinya untuk belajar di Batavia ataupun ke Negeri Belanda.

Hingga pada akhirnya, Kartini tidak dapat melanjutanya cita-citanya baik belajar menjadi guru di Batavia ataupun juga kuliah di negeri Belanda. Padahal Kartini menerima beasiswa untuk belajar kesana.

Kartini wafat pada tanggal 17 September 1904, pada usia 24 tahun. Namun berkat perjuangannya, berdirilah Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang kemudian meluas ke Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, serta daerah lainnya pada tahun 1912.

Baca Juga: Isi Naskah Sumpah Pemuda dan 15 Ucapan Selamat Hari Sumpah Pemuda 2020

Sekolah tersebut kemudian diberi nama “Sekolah Kartini” untuk menghormati jasa RA Kartini. Yayasan tersebut milik keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis di era kolonial Belanda.

Sepeninggal RA Kartini, ada seorang pria belanda bernama J.H. Abendanon yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda, mengumpulkan surat-surat yang pernah ditulis oleh RA Kartini ketika aktif melakukan korespondensi dengan teman-temannya yang berada di Eropa kala itu.

Dari sana kemudian disusunlah buku yang awalnya berjudul ‘Door Duisternis tot Licht‘ yang kemudian diterjemahkan dengan judul Dari Kegelapan Menuju Cahaya, buku ini terbit pada tahun 1911.

Baca Juga: Pemkab Probolinggo Mulai Lakukan Uji Coba Pembelajaran Tatap Muka Pada 6 Kecamatan Ini

Buku tersebut dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan kelima terdapat surat-surat yang ditulis oleh Kartini. Pemikiran-pemikiran yang diungkapkan olehnya, banyak menarik perhatian masyarakat ketika itu terutama kaum Belanda. Karena yang menulis surat-surat tersebut adalah wanita pribumi.

Pemikirannya banyak mengubah pola pikir masyarakat Belanda terhadap wanita pribumi ketika itu. Tulisan-tulisannya juga menjadi inspirasi bagi para tokoh-tokoh Indonesia kala itu seperti W.R Soepratman.

Beliau kemudian menbuat lagu yang berjudul ‘Ibu Kita Kartini‘. Inilah yang menjadi salah satu prestasi dari RA Kartini.

Baca Juga: 8 Rempah Ini Mampu Meningkatkan Imunitas Tubuh, Kunyit Salah Satunya

Atas jasa RA Kartini , Presiden Soekarno mengeluarkan instruksi berupa Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, pada tanggal 2 Mei 1964.

Keputusan itu menetapkan RA Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Soekarno juga menetapkan hari lahir Kartini pada tanggal 21 April, diperingati sebagai Hari Kartini hingga saat ini.***

Editor: Elita Sitorini

Tags

Terkini

Terpopuler