Peringati Hari Guru Nasional, Berikut Ini 2 Puisi tentang Seorang Guru dari Penyair Joko Pinurbo

- 23 November 2020, 17:02 WIB
Logo Hari Guru Nasional 2020. /Kemendikbud
Logo Hari Guru Nasional 2020. /Kemendikbud /

POTRAL PROBOLINGGO - Hari Guru Nasional yang diperingati setiap  tanggal 25 November, merupakan peringatan untuk menghormati jasa-jasa para guru di Indonesia.

Menjelang Hari Guru Nasional tersebut, seseorang dapat memperingatinya dengan beragam cara, diantaranya membaca puisi

Dikutip PORTAL PROBOLINGGO dari beberapa sumber pustaka, dalam memperingati Hari Guru Nasional, berikut ini 2 sajak dari penyair Joko Pinurbo berkenaan soal sosok guru.

Baca Juga: Nadiem Makarim: Seleksi Guru PPPK 2021 Tidak Dibatasi, Ini Syaratnya!

  • Dengan Kata Lain

Tiba di stasiun kereta, aku langsung cari ojek.
Entah nasib baik, entah nasib buruk,
aku mendapat tukang ojek yang,
astaga, adalah guru sejarahku dulu.

“Wah, juragan dari Jakarta pulang kampung,”
beliau menyapa. Aku jadi malu dan salah tingkah.
“Bapak tidak berkeberatan mengantar saya ke rumah?”

Nyaman sekali rasanya diantar pulang Pak Guru
sampai tak terasa ojek sudah berhenti di depan rumah.

Ah, aku ingin kasih bayaran yang mengejutkan.
Dasar sial. Belum sempat kubuka dompet,
beliau sudah lebih dulu permisi lantas melesat begitu saja.

Baca Juga: Jutaan Penduduk AS Tetap Lakukan 'Mudik' Thanksgiving Meskipun Kasus Covid-19 Semakin Meningkat

Di teras rumah Ayah sedang tekun membaca koran.
Koran tampak capek dibaca Ayah sampai huruf-hurufnya
berguguran ke lantai, berhamburan ke halaman.

Tak ada angin, tak ada hujan, Ayah tiba-tiba
bangkit berdiri dan berseru padaku, “Dengan kata lain,
kamu tak akan pernah bisa membayar gurumu.”

Baca Juga: 5 Tips Sukses Menanam serai Di Rumah Ala Kementan, Pecinta Masakan dan Jamu Wajib Tahu

  • Terkenang Celana Pak Guru

Masih pagi sekali, Bapak Guru sudah siap di kelas.
Kepalanya yang miskin dan merana terkantuk-kantuk,
kemudian terkulai di atas meja.
Kami, anak-anak yang bengal dan nakal, beriringan masuk sambil mengucapkan: "Selamat pagi, Bapak Guru."
Bapak Guru tambah nyenyak. Dengkur dan air liurnya seakan mau mengatakan: "Bapak sangat lelah."

Hari itu mestinya pelajaran Sejarah. Bapak Guru telah berjanji menceritakan kisah para pahlawan yang potretnya terpampang di seluruh ruang. Tapi kami tak tega membangunkannya.
Kami baca di papan tulis: "Baca halaman 10 dan seterusnya.
Hafalkan semua nama dan peristiwa."

Baca Juga: Antisipasi Banjir, Proyek Drainase Di Kota Pekalongan Terus Dikebut

Sudah siang, Bapak Guru belum juga siuman.
Hanya rits celananya yang setengah terbuka
seakan mau mengatakan: "Bapak habis lembur semalam."
Ada yang cekikikan. Ada yang terharu dan mengusap matanya yang berkaca-kaca. Ada pula yang lancang membelai-belai
gundulnya sambil berkata: "Kasihan kepala
yang suka ikut penataran ini."

Sekian tahun kemudian kami datang mengunjungi seorang sahabat yang sedang tidur di dalam makam di bekas lahan sekolah kami.

Kami lihat seorang lelaki tua terbungkuk-bungkuk membukakan pintu kuburan.
"Silakan," katanya.
"Dia Pak Guru kita itu!" temanku berseru.
"Kau ingat rits celananya yang setengah terbuka?"
"Tenang. Jangan mengusik ketenteramannya,"
aku memperingatkan.

Baca Juga: Aktivitas Kegempaan Gunung Merapi Masih Tinggi, BPPTKG Imbau Masyarakat Tetap Tenang Dan Tidak Panik

"Dia pasti damai dan bahagia di tempat yang begini bersih dan tenang," kata temanku sambil menunjuk
nisan sahabatnya.
"Kelak aku juga ingin dikubur di sini," sambungnya.
"Ah, jangan berpikir yang bukan-bukan," timpalku.
Sementara si penjaga kuburan yang celananya congklang dan rambutnya sudah memutih semua diam-diam mengawasi kami dari balik pohon kamboja.

1997***

Editor: Elita Sitorini


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkait

Terkini