Pusat Studi Konstitusi FH Universitas Andalas Sebut Ada 7 'Dosa Besar' di UU Omnibus Law Cipta Kerja

- 8 Oktober 2020, 15:09 WIB
Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum (FH) Universitas Andalas Keluarkan Kajian 7 Dosa Besar UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum (FH) Universitas Andalas Keluarkan Kajian 7 Dosa Besar UU Omnibus Law Cipta Kerja. /Instagram.com/ @yayasanlbhindonesia

 

PORTAL PROBOLINGGO - Penolakan terhadap Undang-Undang (UU) Cipta Kerja oleh berbagai elemen masyarakat dimulai sejak kemarin, 6 Oktober 2020.

Tak hanya serikat buruh, pemuka agama, dan mahasiswa; akademisi pun turut bersuara menyikapi disahkannya UU Cipta Kerja oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada 5 Oktober 2020 lalu tersebut.

Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum (FH) Universitas Andalas mengeluarkan kajian 7 'dosa besar' UU Omnibus Law Cipta Kerja pada 6 Oktober 2020, sebagaimana dikutip PORTAL PROBOLINGGO dari laman instagram @yayasanlbhindonesia pada Kamis, 8 Oktober 2020.

Baca Juga: Lowongan Kerja Oktober 2020: PT. SMART Tbk Buka Posisi Bagi Minimal Sarjana, Cek Persyaratannya

7 dosa besar itu menjadi dasar penolakan secara tegas PuSaKO FH Andalas dan menuntut dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) sebagai pertanggungjawaban presiden atas UU Cipta Kerja.

7 dosa besar UU Omnibus Law Cipta Kerja menurut PuSaKO FH Andalas tersebut antara lain:

1. Kekuasaan yang sentralistik. UU Cipta Kerja semakin meletakkan kekuasaan terpusat kepada Pemerintah Pusat melalui pembentukan ratusan Peraturan Pemerintah, khususnya dalam hal izin usaha hingga penataan ruang.

Baca Juga: Jadwal Acara SCTV Hari Ini, 8 Oktober 2020, Jangan Lewatkan Kelanjutkan Sinetron Dari Jendela SMP

2. UU Cipta Kerja hanya memprioritaskan kemudahan bagi investor.

3. UU Cipta Kerja memperlemah kekuasaan Pemerintah Daerah yang secara konstitusional menjalankan prinsip otonomi seluas-luasnya yang diatur dalam UUD 1945.

Termasuk izin pendirian usaha di daerah dan tata ruang desa yang diatur dalam pasal 48 UU Penataan Ruang dalam UU Cipta Kerja, dan penentuan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang diatur dalam pasal 7C, pasal 16 UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam UU Cipta Kerja.

Baca Juga: Laman Resmi Pemkab Madiun Diretas, Penuhi Ujaran Kebencian terhadap DPR

4. UU Cipta Kerja akan menimbulkan ketimpangan keuangan pusat dan daerah. Hal ini akan menyebabkan sumber daya alam yang ada penentuan perizinannya harus melalui Pemerintah Pusat.

Bahkan, bisnis di wilayah pesisir seperti garam dan pariwisata diambil alih oleh Pemerintah Pusat, sebagaimana yang diatur dalam pasal 19 UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Izin berusaha bagi masyarakat lokal dan tradisional hanya terkait kebutuhan hidup sehari-hari, hal itu dikecualikan bagi masyarakat hukum adat, sebagaimana diatur dalam pasal 20 UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dalam UU Cipta Kerja.

Baca Juga: Hasil Laga Persahabatan: Italia Menang Telak Atas Moldova 6-0

5. Kemudahan bagi pemodal asing. Pulau-pulau di Indonesia dapat dikelola melalui penanaman modal asing berdasarkan kepentingan pusat padahal asetnya milik daerah, sebagaimana diatur pasal 26A UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dalam UU Cipta Kerja.

6. Dalam pasal 49 UU Kehutanan dalam UU Cipta Kerja menghapus sanksi bagi perusahaan yang terbukti melakukan pemabakaran lahan.

Padahal, United Nation Guilding Principles on Business and Human Rights (UNGPs) mengisyaratkan kewajiban negara untuk melindungi individu dari pelanggaran HAM oleh pihak ketiga, termasuk bisnis.

Baca Juga: Tanggapi Pengesahan RUU Cipta Kerja, Ketum PBNU Said Aqil Siradj Minta Warga NU Harus Bersikap Tegas

7. UU ini menghapus syarat ketentuan tentang syarat pengalihfungsian lahan yang sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian.

Sehingga, demi kepentingan umum maupun investasi, lahan pertanian dapat dialihfungsikan dengan mudah. Sebagaimana diatur dalam pasal 44 UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dalam UU Cipta Kerja, hal ini akan menimbulkan lebih banyak konflik agraria akibat perampasan lahan. ***

Editor: Antis Sholihatul Mardhiyah


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkait

Terkini